Question?

(+62) 81 2662 4587

Learning Human Capital Proudly Present Webinar

Mengundang Ibu Jelita Widuri Yati dari PT MRT Jakarta untuk berbagi mengenai strategi remunerasi perusahaan induk-anak untuk mencapai sinergitas.

Webinar LHC#1

Register di bit.ly/lhcsakura

Friday, July 23, 2021

Framework HR Technical Stream

 Framework HR Technical Stream akan digunakan sepanjang kelas HR-BTS



Versi pembaruan 2021 akan di update pada kuartal ke 3 akhir pada tahun ini. Akan ada beberapa perubahan dan penambahan minor pada variabel-variabel di HR Technical Stream.


Happy Learning HC!

Share:

Tuesday, June 25, 2019

Strategi... lain lubuk lain ikannya


Lain lubuk lain ikannya, lain ladang lain ilalang...
Lain organisasi lain strategi...

Peribahasa tersebut sangat cocok menggambarkan pikiran dasar dalam manajemen strategi. Tidak ada strategi universal dalam industri. Semua serba relatif. 

Strategi adalah perencanaan untuk mencapai tujuan tertentu

Dalam dunia bisnis ada berbagai macam industri. Beberapa sumber membagi lagi jenis-jenis industri tersebut seperti perspektif manufaktur/non manufaktur, barang/jasa, kreatif/non, atau sesuai klasifikasi pemerintah dengan berbagai macam perspektif untuk membaginya. Pada dasarnya ahli-ahli strategi di organisasi sudah sangat paham tentang industri-industri bidang yang mereka kuasai dan bagaimana memformulasikan strategi itu sendiri. Namun bagaimana yang masih belum? mari kita lihat.

Secara harfiah strategi itu adalah perencanaan untuk mencapai tujuan tertentu (target), se-sederhana dan semudah itu kelihatannya bukan? Memang semudah itu jika target sudah ditetapkan, tinggal memilih, menguji dan meyakini strategi saja kedepannya.

Target datang dari mana?

Lalu target datang darimana? Target apa dulu?

Jika dilihat dari perspektif organisasi, target organisasi (perusahaan) datang dari beragam sumber. Single standing company, dapat merujuk target pada wide market growth, historikal data tahun-tahun sebelumnya, atau paling akhir adalah cita-cita ideal si pemilik perusahaan. Bedanya lagi perusahaan yang ber-holding umumnya sudah di-set oleh holding untuk mengejar target tertentu oleh induknya. Sisanya tinggal merumuskan cara-cara internal anak holding dalam mengejar target tersebut. Cara-cara inilah yang sering juga disebut dengan strategi, atau jika ingin di spesifik-kan, sah-sah saja jika disebut internal strategy.

Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan seperti BUMN dan BUMD? Layaknya holding, jika BUMN berinduk ke Negara, BUMD akan berinduk ke Pemda Daerah setempat. Jadi target biasanya sudah terberi oleh induk-induk masing-masing.

Strategi membuat target, Strategi mencapai target, itu beda.

Strategi membuat target melibatkan pengetahuan akan kondisi eksternal perusahaan disamping kondisi internal kemampuan perusahaan. Memadupadankan dua hal tersebut akan membuat target menjadi target yang memang memiliki possibility untuk tercapai. Sederhananya, bukan menjadi target mimpi yang implikasinya nanti mungkin saja setiap bulan diutak-atik.

Sementara itu strategi mencapai target sebaliknya. Lebih banyak melibatkan pengetahuan akan kondisi internal perusahan disamping kondisi eksternal perusahaan. Makanya sering kita lihat dalam proses setting target, menggunakan tools (alat bantu) yang berbeda dengan saat membuat rencana usaha pencapaian target.

Proses setting target umumnya menggunakan alat bantu strategi bisnis. Yang paling umum dipakai adalah five forces-nya Michael Porter untuk melakukan analisa strategi pada industri, selain itu dapat dibantu juga dengan SWOT analysis. Sepintas kita akan langsung paham bahwa dimensi-dimensia five forces-nya memang tidak dibuat untuk memenuhi kebutuhan strategi manajemen dalam mengejar target dikarenakan ada tool yang lain untuk kepentingan itu, salah satunya adalah Balanced Scorecard (BSC). Dalam pandangan kami, BSC bekerja setelah target utama ter-atas ditentukan terlebih dahulu, yaitu target pada perspektif finansial. Tanpa adanya target pada perspektif finansial tersebut, BSC tidak dapat diturunkan secara ideal menjadi strategi manajemen dalam mencapai target.

Dari dasar pemikiran tersebut maka kami mengajukan bahwa lain lubuk lain ikannya, lain target lain strategi, lain organisasi lain pula strateginya. Dikarenakan kondisi setiap organisasi berbeda, maka tidak dapat dipaksakan strategi yang dulu pernah berhasil di perusahaan/organisasi sebelumnya serta merta akan mulus dan berhasil jika diterapkan pada perusahaan yang lain.

Strategi membuat target melibatkan lebih banyak knowledge kondisi eksternal perusahaan, dimana strategi mencapai target sebaliknya

Fawzan Yahya Patria - Consultant
Learning Human Capital
Share:

Wednesday, June 19, 2019

Tidak Perlu Pelit Beri Lemburan

Image result for lembur karyawan

Semalam dapat curhat tentang leadership dan managerial dan jadi punya ide bikin catatan kecil.

Ini menjadi pelajaran dan pengingat untuk saya juga seiring bertambahnya usia, kematangan dan pengalaman. Leading people itu tidak seperti leading mesin mesin produksi dengan pendekatan mekanik. Semua pasti setuju kalimat penggugah ini. Tapi apakah semua mampu mengimplementasikannya secara manusiawi atau mekanikal?

Seorang sahabat saya menceritakan bahwa suatu waktu dirinya ditegur oleh manager di tempat dia bekerja "Jangan terlalu pelit beri lembur ke anak buah"

Jangan terlalu pelit beri lembur ke anak buah

Mungkin bertahun-tahun yang lalu saya akan langsung memberi tambahan bahwa "lembur harus diberikan sesuai kebutuhan, sesuai kepentingan pekerjaan agar biaya lembur tidak memberatkan perusahaan". Tapi mari kita coba pandangan lain untuk balancing pendapat tersebut.

Lembur terjadi apabila dianggap adanya kebutuhan untuk menyelesaikan pekerjaan yang mendesak. Urusan lembur melembur ini diatur oleh perundangan di Republik Indonesia bahkan. Lembur tidak dapat dipaksakan, dan musti melalui kesepakatan karena lembur pada dasarnya adalah pelanggaran dari perjanjian kerja yang umumnya delapan atau tujuh jam dalam satu hari.

Akan tetapi, lembur juga berarti uang bagi anak buah yang masih berhak mendapatkan pembayaran lembur di perusahaan. Bagi mereka, menurut pengalaman saya, lembur adalah berkah untuk menambah pundi-pundi mereka setiap bulan untuk memenuhi atau sedikit melebihi kebutuhan hidup mereka dan/atau keluarga yang ditanggungnya.

tidak secara jomplang "menolak" memberikan lembur anak buah, tapi juga tidak secara boros dan serampangan memberikan lembur tanpa hasil yang bisa dinikmati bersama

Ada dua tarik menarik kepentingan dalam urusan lembur ini. Tapi kembali ke case sahabat saya, begini offering yang saya berikan.

Pertama, berangkat dari leading people itu tidak bisa menggunakan model mekanik yang kaku. 

Kedua, melihat latar belakang dan kebiasaan di perusahaan juga butuh diperhatikan seorang leader. Leader yang compliance itu baik, tapi lebih baik lagi leader yang paham situasi dan mau bersabar dalam situasi yang tidak nyaman untuk dirinya. Kebiasaan memberikan lembur pada anak buah belum tentu dikatakan hal yang tidak baik, tergantung kacamata melihat dari sudut mana. Dalam environment yang terbiasa dengan pemberian lembur, maka sebaiknya leader mempertimbangkan untuk sedikitnya masuk dalam situasi dengan tetap menjaga kepatutan. Artinya, tidak secara jomplang "menolak" memberikan lembur anak buah, tapi juga tidak secara boros dan serampangan memberikan lembur tanpa hasil yang bisa dinikmati bersama. Environment dimana para staf di unit lain sering mendapat/ditugaskan lembur oleh atasannya dan mendapat kompensasi atas itu, sedikit banyak akan menjadi tolok ukur bagi staf di unit leader lain yang merasa kurang dari sisi penghasilan bulanan yang mereka terima.

Ketiga, memberikan sedikit tambahan uang melalui lembur kepada anak buah, dalam realitanya membuat anak buah happy dan menganggap leader memperhatikan kebutuhan mereka akan rupiah yang akan mereka dapatkan dari lemburan. Ingat, konsep leader ideal hanya bisa tercapai apabila anak buah dalam kondisi perut cukup terisi. Melebihkan sedikit lembur untuk mengisi kantong anak buah, juga bisa dilihat efek positif nya yaitu mendekatkan anak buah pada atasan, menciptakan hubungan mutualisme (dapat dibayangkan apabila di satu perusahaan environment lemburan kuat, lalu ada 1 leader yang amat pelit memberikan lemburan dengan alasan tidak penting, tidak perlu atau tidak produktif, menurut pengalaman maka besar kemungkinan anak buah muncul sikap-sikap non-mutualisme dengan leadernya)

Lemburan di satu sisi memang musti diperhitungkan kepatutannya dengan baik, walau di sisi lain dapat menjadi salah satu tools untuk menjalin hubungan mutualisme antara atasan dan bawahan. Namun tetap diingat dalam pemberian perintah lembur, leader pun musti inovatif sehingga sedikit banyak lemburan memiliki nilai guna.

Disclaimer
Tulisan ini dibuat dengan kondisi ceteris paribus dimana faktor lain selain leadership dianggap tidak ada atau normal. Urusan lemburan erat kaitannya dengan produktifitas dan beban finansial perusahaan. Oleh karena itu, diskusikan dengan HR dan unit Finance perusahaan anda untuk mencari tahu seberapa mampu perusahaan menanggung beban lembur pada periode berjalan sebelum anda mengambil keputusan.
Share:

Sunday, April 21, 2019

Mau implementasi flexi-time? Pahami dulu biar tidak gagal paham


Metode penyelesaian pekerjaan berkembang dari waktu ke waktu. Beberapa jenis pekerjaan menuntut kehadiran secara terus menerus di ruang penyelesaian kerja (sering dikatakan ruang kerja). Namun perkembangan industri 4.0 dapat juga disikapi dengan bijak untuk mencapai efisiensi penyelesaian kerja.

Perusahaan yang menghasilkan produk barang, memang cukup terbatas dalam hal ruang penyelesaian pekerjaan. Perusahaan jenis ini membutuhkan alat-alat dan perkakas yang tidak dapat dengan mudah dipindahkan setiap saat. Mesin-mesin produksi yang besar, sparepart untuk menjaga, kesiapsiagaan apabila terjadi masalah pada alat produksi, membuat para pekerjanya butuh hadir di lokasi penyelesaian pekerjaan tersebut. Perusahaan seperti ini cenderung memiliki ruang penyelesaian kerja tetap yang luas, membutuhkan banyak sekali beban sewa, operasional, pemeliharaan, dan lain-lainnya.

Beda sekali dengan perusahaan (yang diawali dengan) IT, industri kreatif, dan sejenisnya yang memiliki ruang penyelesaian kerja yang lebih luas dan tidak terbatas dengan alat-alat penyelesaian kerja yang membuat para pekerjanya harus menempel ketat dengan peralatan tersebut untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perusahaan seperti ini cenderung memiliki ruang penyelesaian kerja tetap yang tidak terlalu luas, (relatif kecil malahan), mengurangi banyak sekali beban sewa, operasional, pemeliharaan dan lain sebagainya.

Apa hubungannya dengan efisiensi?

Bukan berarti perusahaan yang membutuhkan ruang penyelesaian kerja tetap yang luas menjadi kurang efisien dibandingkan industri sebaliknya. Akan tetapi, baiknya setiap industri mulai membuka mata dan berevolusi mengejar efisiensi. Saat ini banyak perusahaan bermunculan untuk menyediakan produk dan layanan sejenis yang sudah ada di pasaran. Mereka siap menggerogoti pangsa pasar didalamnya sudah terdapat singgasana-singgasana nyaman market leader sebelumnya.

Menghasilkan barang dan jasa yang efektif sudah bukan lagi hal yang menyulitkan. Akses terhadap sumberdaya produksi saat ini semakin mudah dan tidak selalu dimonopoli oleh market leader. Perbedaannya ada di apakah proses di masing-masing perusahaan sudah sama efisiennya?

Perusahaan besar boleh menang di economic scale production. Tapi perusahaan kelas sedang hingga kecil, musti menang di efisiensi prosesnya. Tak hanya itu, seluruh perusahaan juga secara terus menerus mencari cara untuk mengurangi "waste" dalam setiap proses yang mereka lakukan untuk mencapai efisiensi maksimal.

Kenapa Flexi Time?

Flexi-time atau flexible time hanya satu dari sekian banyak metode untuk efisiensi proses pada sub konteks meng-efisiensi-kan ruang penyelesaian kerja. Terkadang seringkali dikaitkan bahwa implementasi flexi-time berkaitan positif dengan kualitas kerja yang dihasilkan. Beban penyediaan ruang penyelesaian kerja dapat diminimalisir melalui penerapan flexi time ini. Walaupun terkadang implementasi flexi-time tanpa aturan membuat pergeseran jam kerja yang tadinya 8 jam per hari, menjadi unlimited work respond time per hari nya.

Flexi Time

Flexi-time atau flexible working time adalah penerapan jam kerja untuk mengefisiensikan ruang penyelesaian kerja pada suatu organisasi. Yang harus diingat adalah, yang di efisiensikan adalah ruang penyelesaian kerjanya, bukan hasil pekerjaannya. Karyawan tidak dituntut untuk datang dari jam 8 hingga jam 5 sore setiap hari nya, namun dituntut untuk menyelesaikan rencana kerja mealui ruang penyelesaian kerja tanpa batas. Penerapan jam kerja sendiri kami klasifikasi menjadi:

Fixed Time
Fixed Time adalah penerapan jam kerja konvensional yang menurut kesepakatan internasional, dibatasi menjadi 8 jam kerja per hari jika bekerja 5 hari dalam seminggu, atau 40 jam kerja dalam seminggu. Jam kerja seperti ini bersifat rigid sesuai kesepakatan. Seringkali diasumsikan keterlambatan untuk masuk bekerja pada jam yang ditentukan dapat dikaitkan dengan potensi kerugian yang dapat diderita oleh perusahaan. Seperti keterlambatan operator line produksi masuk ruang penyelesaian kerja, dapat membuat aliran produksi terhambat dan perusahan tidak dapat mencapai target harian yang telah ditetapkan dalam kuantitas/kualitas produk.

Jam kerja fixed time ini sendiri memiliki modifikasi, seperti Tolerance-Fixed Time, dimana karyawan dapat memilih waktu toleransi masuk dan pulang kerja dengan catatan terpenuhi 8 jam dalam sehari.

Flexible Time
Seiring perkembangan industri dan teknologi, jam kerja flexible time mulai diperkenalkan dan populer di kalangan pengusaha, terlebih mereka yang telah memanfaatkan teknologi dalam bekerja yang memungkinkan untuk berkoordinasi dan korespondensi melalui jarak jauh sehingga kehadiran mereka secara fisik tidak lagi diperlukan.

Jam kerja seperti ini berlaku dinamis sesuai kesepakatan. Keterlambatan submit hasil kerja lah yang dapat dikatikan dengan potensi kerugian yang dapat diderita oleh perusahaan. Seperti keterlambatan seorang desain grafis dalam menyampaikan hasil pekerjaannya kepada atasan/klien nya sehingga terjadi keterlambatan perusahaan dalam meraih keuntungan.

"Jam kerja Flexi ini memiliki 2 model, yaitu flexi time dengan core time, dan flexi time tanpa core time"
  • Flexi time with core time, penambahan core time dalam flexi time ini mengartikan bahwa perusahaan tetap mewajibkan karyawan untuk memenuhi sekian jam dalam satu periode untuk berada di kantor, apakah untuk kepentingan meeting rutin, meeting progress dan lain sebagainya. Seperti seorang karyawan flexi time diwajibkan untuk berada di kantor selama 20 jam dalam 1 minggu pada waktu-waktu yang dapat ia tentukan sendiri disamping ada waktu khusus seperti setiap senin pagi dan rabu pagi untuk meeting wajib internal.
  • Flexi time with no core time, dimana tanpa adanya core time, karyawan benar-benar bebas mengatur diri sepanjang tugas yang diberikan selesai tepat pada waktunya. Mirip freelance? bisa jadi. Bedanya freelance dihitung sebagai self-employment, sementara flexi time employee terikat pada perjanjian kerja dengan perusahaan tempat ia bekerja.


Bagaimana cara implementasi Flexi Time?

Pertama, Jenis Pekerjaan
Harap diperhatikan, bahwa tidak semua jenis pekerjaan saat ini dapat mengimplementasikan jam kerja fleksibel. Identifikasi jenis-jenis pekerjaan yang berpotensi memiliki ruang penyelesaian kerja yang dapat dibuat lebih luas hingga keluar kantor. Segala bentuk pekerjaan yang terikat dengan mesin-mesin produksi besar yang tidak fleksibel untuk berpindah, tidak dapat dikategorikan sebagai jenis pekerjaan yang akan fit dengan metode flexi time, setidaknya tidak untuk saat ini.

Kedua, Set Mindset
Kebiasaan bahwa biasanya kantor (ruang penyelesaian kerja) haruslah penuh dengan karyawan harus perlahan-lahan dikikis dan digantikan dengan mindset bahwa karyawan haruslah berkontribusi penuh pada hasil dan kualitas hasil kerja.

Ketiga, Infrastruktur
Penyebab flexi-time mulai populer adalah kemajuan infrstruktur teknologi informasi. Maka tanpa hal ini, flexi-time tidak akan bisa diterapkan. Perhatikan apakah infrastruktur teknologi di perusahaan anda sudah siap untuk mengakomodasi lalu lintas pekerjaan dengan penerapan jam kerja seperti ini, baik kecepatan data maupun kerahasiaan.

Keempat, Setting dan Delegasi Pekerjaan
Sebelum implementasi, masing-masing unit diharapkan dapat mempersiapkan bagaiman setting dan pembagian pekerjaan pada setiap member unit tersebut. Proses setting termasuk dengan bagaimana cara komunikasi dalam setiap pekerjaan yang ada, hingga menyiapkan dan menilai target hasil kerja.


Admin
Learning Human Capital
Share:

Friday, April 12, 2019

Kompetensi bukan bagian dari Penilaian Kinerja (atau Hasil Kerja) (Bag 1)


Metode penilaian hasil kerja telah menjadi perdebatan selama ini. Apalagi jika bukan tentang bagaimana caranya, apa yang akan dinilai, dan lain-lain. Perdebatan itu melahirkan pendekatan-pendekatan baru yang semakin maju (objektif), atau yang sedikit menyeleweng dari kerangka berpikir.

Saya akan mulai pelan-pelan.
Dalam hal ini saya mengajukan dalil pertama bahwa kinerja dan hasil kerja harus dibedakan terlebih dahulu.

Kenapa saya membedakan kinerja dan hasil kerja?

Pertama, Saya membedakan hanya untuk memudahkan penjelasan. Walaupun KBBI menjelaskan kinerja sebagai (1) sesuatu yang dicapai, (2) prestasi yang diperlihatkan, (3) kemampuan kerja (tentang peralatan), tapi belum bisa membedakan antara apakah kinerja itu adalah sesuatu yang dicapai (dalam maksud hasil akhir), atau bagaimana sesuatu memiliki kemampuan kerja tertentu yang disyaratkan (saat bekerja). Kinerja saya spektrumkan menjadi tinggi-rendah, sementara Hasil Kerja saya spektrumkan dengan tercapai-tidak tercapai. Sekilas sama, tapi mari kita coba perbedaannya.

Ibaratnya didepan kita ada sebuah mesin, dalam industri, salah satu metode untuk mengukur "kinerja" mesin adalah OEE atau Overall Equipment Effectiveness. Sederhananya OEE akan melihat downtime, loss dan defect pada produk (hasil). Hasilnya, jika OEE tidak sesuai standar yang ada, maka perlu dilakukan proses peningkatan pada mesin agar dapat bekerja dengan baik dan maksimal. Jadi secara fundamental, apakah yang dianggap kinerja pada mesin itu dapat disebut sebagai hasil akhir (produk) untuk dinilai? Tentu bukan, walaupun mesin tersebut memang akan memproduksi produk-produk yang telah ditetapkan. OEE bersifat prediktor. Dengan menghitung OEE, maka dapat diprediksi kinerja mesin atau apakah mampu/tidaknya mesin tersebut mencapai/tidak mencapai target yang ditetapkan.

Lalu hasil kerja? Ya jelas, itulah produk akhir dari mesin tersebut yang telah ditetapkan. Jadi mengkalkulasi kinerja (seperti OEE) akan menghasilkan sebuah prediksi akan apakah hasil kerja yang ditetapkan terhadap mesin tersebut dapat tercapai atau tidak.

Kita lanjut...

Lalu apa hubungannya dengan judul?

Sebenarnya saya tertarik untuk menulis ini karena seringkali melihat praktek penilaian akhir hasil kerja tahunan suka ditambah-tambahkan dengan kolom kompetensi (sekedar buka-bukaan, saya dulu juga mempraktekkan hal yang sama lho), dan hasilnya digabungkan dengan hasil akhir kerja.

Setelah dipikir ulang, perasaan mengganjal itu pun mulai menjadi pertanyaan besar tentang, apa yang seharusnya dinilai pada penilaian akhir tahunan tentang sebuah jabatan. Hingga saya sampai pada kesimpulan bahwa tidak tepat jadinya jika kompetensi dinilai hasilnya dan digabungkan hasilnya dengan hasil akhir kerja (kebanyakan akan berkata KPI, lain kali saya mau tulis tentang ini juga) sebelum disebut Nilai PA (Performance Appraisal)

Karena...

bersambung...




Fawzan Yahya Patria - Consultant
Learning Human Capital
Share:

Monday, April 8, 2019

Trik Negosiasi Gaji


Interview HRD terlewati, segala macam tes berhasil lulus, calon atasan pun agaknya mencintai, medical check up juga berakhir positif (sehat maksudnya), tinggal lah pada saat yang ditunggu dan mendebarkan... PENAWARAN GAJI.

Sebelum bicara tips trik dalam penawaran gaji, kita kupas sedikit dulu tentang arti gaji ini sendiri.

Gaji (atau dalam bahasa undang-undang, adalah UPAH), tentu saja adalah nominal yang diberikan kepada kita atas imbal jasa/kerja/usaha yang kita berikan kepada pemberi kerja. biasanya diberikan secara bulanan, namun ada juga yang bersifat harian.

Upah ini punya komponen-komponen. yaitu:
1. Gaji Pokok
2. Tunjangan Tetap (jika ada)
3. Tunjangan Tidak Tetap (jika ada)

Sementara besaran gaji pokok pada upah, tidak boleh kurang proporsinya dari 75% dari upah itu sendiri yang dilihat hanya dari gaji pokok + tunjangan tetap saja.

Untuk karyawan baru (istilahnya karyawan fresh graduate), umumnya tidak terlalu memperhatikan masalah upah ini sendiri. Bagi mereka yang penting cepat kerja, dapat gaji (upah), punya titel karyawan kantoran, tiap pagi ngantor, dapat benefit kesehatan, dan lain-lain. Upah pun tidak terlalu peduli nominalnya, yang penting taunya adalah minimal UM alias Upah Minimal, yang 2019 ini untuk DKI Jakarta dipatok 3,9 juta-an.

Beda cerita untuk karyawan yang ingin ganti seragam alias pindah kantor yang biasanya suka bingung saat dihadapkan pada episode "negosiasi gaji"

MAU NEGO GAJI BERAPA?

Pertama, sebelum perang, ketahui medan perangnya dulu, musti ingat komponen kompensasi dan benefit itu memuat sedikitnya:
1. Upah
2. Tunjangan-tunjangan
3. Pajak atas upah dan tunjangan
4. Benefit kesehatan
5. Lainnya

siapkan senjata sendiri. Pastikan:
1. Berapa nominal upah saat ini, THR dapat berapa kali upah, setahun berapa kali upah
2. Berapa nominal tunjangan tetap saat ini jika ada
3. Cek apakah pajak atas upah saat ini dibayarkan perusahaan (net/gross up) atau kotor (gross)
4. Berapa nominal tunjangan tidak tetap saat ini jika ada, dan aturan pemberiannya
5. Pastikan plan benefit kesehatan kita seperti apa saat ini, rawat jalan, inap, kacamata, dll

Sederhananya medan perang dan senjata yang dibutuhkan adalah itu.

LALU?

Banyak pelaku di dunia persilatan akan mengatakan bahwa kenaikan gaji jika pindah dari perusahaan ke perusahaan lain berlaku aturan maksimum kenaikan 30% (walaupun secara nominal, banyak juga yang bisa naik 2-3 kali lipat lho,)

Lalu apa sih 30% itu? Jika gaji sekarang Rp. 5.000.000, lalu saat pindah nanti ditawari 6.500.000, apakah sudah benar 30%? Jawabannya belum tentu!

Bayangkan kenaikan nominalnya memang 30%, tapi lokasi kerja jauh di pinggir kota, sementara kita tinggal di sisi kota sebaliknya..

Bayangkan kenaikan nominlanya memang 30%, tapi jika disetahunkan malah lebih rendah atau sama dengan kondisi upah sekarang jika sama-sama disetahunkan.

SETAHUNKAN!

Jurus nomor 1: Setahunkan yang pasti.
Komponen pasti adalah gaji pokok dan tunjangan tetap. maka setahunkan lah yang pasti terlebih dahulu. Dalam 1 tahun ada 12 bulan, ditambah THR 1-2 kali upah, ditambah jika ada kebijakan lain yang bisa menambah pendapatan setahun (misal setiap ulang tahun join kerja, dapat reward 1x upah tambahan, atau pada awal tahun dapat reward 1x upah untuk pendidikan, dll). Lihat apakah setelah disetahunkan, upah baru dan lama akan menjadi lebih besar, lebih kecil, atau sama saja.

Jurus nomor 2: Hitung yang tidak pasti.
Komponen yang tidak pasti biasanya adalah tunjangan tidak tetap, seperti uang makan yang dihitung perhari, uang transportasi yang dihitung perhari yang kalau tidak masuk maka tidak akan dibayarkan. Maka dapat dirata-ratakan jika sebulan 20 hari kerja, dan asumsinya masuk normal, maka yang tidak pasti ini akan jadi berapa. Lihat apakah setelah dihitung, apakah tunjangan baru dan lama sama atau lebih besar atau lebih kecil?

Jurus nomor 3: Pajak atas upah
Sudah pasti setiap kita menerima upah, akan dikenakan pajak oleh negara. Perhatikan apakah pajak ini ditanggung oleh perusahaan (dibayarkan) atau dipotong langsung pada upah kita. Konsekuensinya di awal upah disepakati 5jt, jika pajak ditanggung perusahaan, maka masuk kantong jadi bersih 5jt, sementara jika pajak kita yang bayar (gross), maka setelah dikurang pajak, mungkin hanya 4,8jt yang akan masuk ke rekening. Solusinya jika masuk ke rekening lebih rendah, maka nego upah lebih besar lagi untuk menutup itu.

Jurus nomor 4: Benefit kesehatan
Ini adalah jurus penting yang suka dilupakan. Tentang asuransi pihak ketiga (selain BPJS Kesehatan) jangan malu dan ragu untuk tanya detail tentang insurance plan di perusahaan baru dan bandingkan dengan yang lama. Bayangkan jika di perusahaan lama rawat jalan dibayarkan full oleh perusahaan, sementara di perusahaan baru, mungkin hanya 50% nya saja, atau bahkan hanya sejumlah nominal yang tidak signifikan membantu. Solusinya jika lebih rendah, maka nego upah lebih besar untuk menutup itu.

Jurus nomor 5: Lain-lain
Perhatikan komponen-komponen lain. Jangan malu juga bertanya apakah perusahaan baru nanti biasa memberikan bonus jika berprestasi pada karyawan? jika ada, secara rata-rata berapa perhitungannya? Lalu dapat bandingkan dengan perusahaan tempat anda bekerja saat ini dan siapkan perangkat solusinya.

KESIMPULAN

Tidak perlu khawatir dengan nego gaji untuk para pindahan. Nego lah sebaik-baiknya. Pertimbangkan juga lokasi dan lingkungan kerja yang baik dan nyaman. Jangan terburu-buru menerima atau menolak penawaran yang diberikan. 5 Jurus andalan di atas semoga dapat membantu dalam episode negosiasi gaji anda nantinya.



Fawzan Yahya Patria - Consultant
Learning Human Capital
Share:

Sunday, October 8, 2017

Ketika Diam Tak Lagi Emas



Dongeng "Baju Baru sang Raja" dapat menjadi sebuah gambaran bagaimana seharusnya budaya ‘diam’ menjadi isu yang tidak dipandang sebelah mata oleh organisasi manapun. Dongeng berakhir dengan Raja yang malu karena ia berparade dengan telanjang, suatu hal yang sebenarnya dapat ia hindari jika orang disekitarnya mau berbicara dan mengeluarkan pendapat mengenai ketidakberesan dalam kerajaannya. Sejalan dengan ilustrasi di atas, tulisan ini akan membahas mengenai fenomena silence atau memilih ‘diam’ bagi karyawan di Indonesia, bagaimana organisasi dan atasan turut serta berperan dalam terbentuknya fenomena ini dan apa yang dapat dilakukan untuk memutus rantai fenomena ini dan menjadikan organisasi Anda lebih ‘hidup’.

Diam, Apa Masalahnya?
Pepatah lama mengungkapkan jika silence is gold, tetapi tentu hal tersebut tidak dapat sepenuhnya diaplikasikan dalam semua lini kehidupan. Bahkan, diamnya seorang karyawan dalam organisasi dapat menimbulkan banyak kerugian bagi organisasi itu sendiri. Glenn Llopis, pemilik firma Glenn Llopis Group serta salah satu kontributor Majalah Forbes, mengungkapkan pentingnya suara dari karyawan bagi organisasi. Lebih lanjut, Ia menuturkan bahwa suara karyawan dapat mengungkapkan sebaik apa performa sebuah organisasi. Suara karyawan memberikan masukan dari dalam mengenai apa yang mesti dievaluasi dari suatu organisasi sehingga mungkin dapat mempengaruhi plan ke depan. Pada artikel yang lain, Glenn Llopis juga mengungkapkan bahwa mendengar ide-ide karyawan berusia 20-tahunan membantu dia menemukan cara untuk berpikir a la Gen Y. Bagi karyawan sendiri, bersuara memberikan banyak keuntungan misalnya menjadi lebih ‘terlihat’ sehingga kesempatan lebih mungkin datang serta meningkatkan karir dalam organisasi.

Mengapa Mereka Memilih Diam?
Tentu, jika melihat banyaknya manfaat yang bisa didapat organisasi maupun karyawan yang ‘bersuara’, mengapa masih banyak yang justru memilih diam dan enggan menyuarakan pendapatnya? 

Beberapa ahli mengungkapkan jika seringkali yang membuat karyawan memilih bungkam bukan karena mereka pendiam, tetapi lebih karena pengaruh organisasi atau supervisor yang kurang mendukung mereka bersuara. Morrison dan Miliken (2000), misalnya, Mengungkapkan jika suasana diam yang dialami karyawan awalnya dibangun dari struktur dan kebijakan yang berlaku di dalam organisasi. Kebijakan yang seringkali sentralisasi dan tidak memiliki ruang untuk dengar pendapat membuat karyawan takut menyuarakan pendapatnya. Studi yang dilakukan kepada 408 responden di Taiwan yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara iklim organisasi yang menekan dengan keengganan para karyawan untuk menyuarakan pendapat (Wang & Hsieh, 2013). Iklim organisasi yang dibangun dari kebijakan serta aturan yang dipersepsikan sebagai ancaman akan membuat karyawan tidak mau bersuara. Sebaliknya ketika iklim organisasi dianggap mengayomi karyawan dan cukup kondusif, mereka tidak merasakan adanya ancaman dan akhirnya membuat mereka lebih nyaman mengungkapkan pendapatnya.

Manajer, supervisor ataupun atasan juga diketahui menjadi penyebab timbulnya ketakutan untuk berbicara ini. Ketika manajer menolak adanya umpan balik negatif atau tidak memiliki kelapangan dada dalam menghadapi kritik dan saran, karyawan di bawahnya tentu memilih menolak untuk berbicara. Mereka tentu menjadi takut untuk mengeluarkan pendapat.  Manajer atau pimpinan yang mau mendengarkan saja ternyata juga tidak cukup membuat karyawan mau bersuara. Detter dan Burris (2007) mengungkapkan bahwa meskipun pemimpin memiliki sifat terbuka tetapi jika karyawan merasa bahwa resiko yang diterima akan menyakitinya, misalnya membuat posisinya terancam, mereka akan lebih memilih untuk diam dan menyelamatkan diri mereka sendiri.

Bagaimana Agar Karyawan Mau Bersuara?
Lantas, jika sudah terlanjur iklim diam ini mendarah daging dalam organisasi, apa yang bisa dilakukan agar karyawan mau bersuara dan urun pendapat? Peter Economy, associate editor untuk Leader to Leader dan penulis buku laris Managing for Dummies, mengungkapkan ada lima langkah sederhana yang dapat dilakukan pimpinan, baik supervisor ataupun manajer, untuk memutus rantai ‘kediaman’ para karyawan ini.

Langkah pertama tentu memberikan contoh bagi mereka untuk bersuara. Membiasakan diri untuk berkomunikasi dengan mereka dan memberikan kesediaan untuk ditanya menjadi suatu keharusan bagi pimpinan yang ingin menjaring pendapat karyawannya. Langkah selanjutnya adalah mengadakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan para karyawan berbicara dengan informal, misalnya mengadakan talent show, permainan ketika istirahat ataupun mengadakan potluck di kantor.

Tidak kalah penting adalah memberikan penghargaan atau reward bagi karyawan yang telah memberikan pendapat mereka. Tidak perlu hingga memberikan bonus lebih atau tunjangan, penghargaan berupa tepuk tangan ataupun kata-kata sanjungan dapat menjadi penguatan bagi mereka bahwa “berpendapat adalah sesuatu yang baik di organisasi ini”. 

Mendorong adanya kerjasama antar karyawan juga dapat menjadi salah satu cara agar mereka akhirnya mau bersuara. Interaksi antar karyawan dapat menjadi dorongan tersendiri bagi mereka agar mau saling mengeluarkan pendapat.

Tidak dapat dipungkiri jika kritikan bukanlah hal yang bisa diterima dengan lapang dada bagi semua orang, terutama di Indonesia. Masih kentalnya budaya ”tidak enakan” menjadi salah satu halangan bagi karyawan untuk berbicara. Selain itu, beberapa karyawan juga belum memahami bagaimana menyampaikan pendapatnya dengan cukup sopan. Menunjukkan pada mereka tentu saja harus dilakukan dengan contoh langsung oleh pimpinannya. Memberi teguran yang dilakukan empat mata dan tidak didepan publik ataupun pujian yang langsung diberikan ketika mereka mampu menyampaikan pendapat dengan santun dapat menjadi sinyal bagi para karyawan untuk terus berpendapat dalam koridor kesopanan.


Referensi:
Dettert, J.R., and Burris, E.R. (2007). Leadership Behavior and Employee Voice: Is the Door really Open? Academy of Management Journal, Vol 50. 869-884.
Morrison, E.W., and Miliken, F.J. (2000). Organizational Silence: A Barrier To Change and Development in A Pluralistic World. Academy of Management Review. Vol. 25. No. 4. 706-725.
Wang, Y-D., & Hsieh, H-H. (2013). Organizational Ethical Climate, Perceived Organizational Support and Employee Silence: A Cross-Level Investigation. Human Relation. 66: 783.
https://www.forbes.com/sites/glennllopis/2012/01/17/6-unique-ways-to-sustain-a-high-performance-mentality/#1d6831d52b51


Novika Graciaswati - Lecturer
Faculty of Psychology - Universitas YARSI
Share: