Question?

(+62) 81 2662 4587

Sunday, October 8, 2017

Ketika Diam Tak Lagi Emas



Dongeng "Baju Baru sang Raja" dapat menjadi sebuah gambaran bagaimana seharusnya budaya ‘diam’ menjadi isu yang tidak dipandang sebelah mata oleh organisasi manapun. Dongeng berakhir dengan Raja yang malu karena ia berparade dengan telanjang, suatu hal yang sebenarnya dapat ia hindari jika orang disekitarnya mau berbicara dan mengeluarkan pendapat mengenai ketidakberesan dalam kerajaannya. Sejalan dengan ilustrasi di atas, tulisan ini akan membahas mengenai fenomena silence atau memilih ‘diam’ bagi karyawan di Indonesia, bagaimana organisasi dan atasan turut serta berperan dalam terbentuknya fenomena ini dan apa yang dapat dilakukan untuk memutus rantai fenomena ini dan menjadikan organisasi Anda lebih ‘hidup’.

Diam, Apa Masalahnya?
Pepatah lama mengungkapkan jika silence is gold, tetapi tentu hal tersebut tidak dapat sepenuhnya diaplikasikan dalam semua lini kehidupan. Bahkan, diamnya seorang karyawan dalam organisasi dapat menimbulkan banyak kerugian bagi organisasi itu sendiri. Glenn Llopis, pemilik firma Glenn Llopis Group serta salah satu kontributor Majalah Forbes, mengungkapkan pentingnya suara dari karyawan bagi organisasi. Lebih lanjut, Ia menuturkan bahwa suara karyawan dapat mengungkapkan sebaik apa performa sebuah organisasi. Suara karyawan memberikan masukan dari dalam mengenai apa yang mesti dievaluasi dari suatu organisasi sehingga mungkin dapat mempengaruhi plan ke depan. Pada artikel yang lain, Glenn Llopis juga mengungkapkan bahwa mendengar ide-ide karyawan berusia 20-tahunan membantu dia menemukan cara untuk berpikir a la Gen Y. Bagi karyawan sendiri, bersuara memberikan banyak keuntungan misalnya menjadi lebih ‘terlihat’ sehingga kesempatan lebih mungkin datang serta meningkatkan karir dalam organisasi.

Mengapa Mereka Memilih Diam?
Tentu, jika melihat banyaknya manfaat yang bisa didapat organisasi maupun karyawan yang ‘bersuara’, mengapa masih banyak yang justru memilih diam dan enggan menyuarakan pendapatnya? 

Beberapa ahli mengungkapkan jika seringkali yang membuat karyawan memilih bungkam bukan karena mereka pendiam, tetapi lebih karena pengaruh organisasi atau supervisor yang kurang mendukung mereka bersuara. Morrison dan Miliken (2000), misalnya, Mengungkapkan jika suasana diam yang dialami karyawan awalnya dibangun dari struktur dan kebijakan yang berlaku di dalam organisasi. Kebijakan yang seringkali sentralisasi dan tidak memiliki ruang untuk dengar pendapat membuat karyawan takut menyuarakan pendapatnya. Studi yang dilakukan kepada 408 responden di Taiwan yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara iklim organisasi yang menekan dengan keengganan para karyawan untuk menyuarakan pendapat (Wang & Hsieh, 2013). Iklim organisasi yang dibangun dari kebijakan serta aturan yang dipersepsikan sebagai ancaman akan membuat karyawan tidak mau bersuara. Sebaliknya ketika iklim organisasi dianggap mengayomi karyawan dan cukup kondusif, mereka tidak merasakan adanya ancaman dan akhirnya membuat mereka lebih nyaman mengungkapkan pendapatnya.

Manajer, supervisor ataupun atasan juga diketahui menjadi penyebab timbulnya ketakutan untuk berbicara ini. Ketika manajer menolak adanya umpan balik negatif atau tidak memiliki kelapangan dada dalam menghadapi kritik dan saran, karyawan di bawahnya tentu memilih menolak untuk berbicara. Mereka tentu menjadi takut untuk mengeluarkan pendapat.  Manajer atau pimpinan yang mau mendengarkan saja ternyata juga tidak cukup membuat karyawan mau bersuara. Detter dan Burris (2007) mengungkapkan bahwa meskipun pemimpin memiliki sifat terbuka tetapi jika karyawan merasa bahwa resiko yang diterima akan menyakitinya, misalnya membuat posisinya terancam, mereka akan lebih memilih untuk diam dan menyelamatkan diri mereka sendiri.

Bagaimana Agar Karyawan Mau Bersuara?
Lantas, jika sudah terlanjur iklim diam ini mendarah daging dalam organisasi, apa yang bisa dilakukan agar karyawan mau bersuara dan urun pendapat? Peter Economy, associate editor untuk Leader to Leader dan penulis buku laris Managing for Dummies, mengungkapkan ada lima langkah sederhana yang dapat dilakukan pimpinan, baik supervisor ataupun manajer, untuk memutus rantai ‘kediaman’ para karyawan ini.

Langkah pertama tentu memberikan contoh bagi mereka untuk bersuara. Membiasakan diri untuk berkomunikasi dengan mereka dan memberikan kesediaan untuk ditanya menjadi suatu keharusan bagi pimpinan yang ingin menjaring pendapat karyawannya. Langkah selanjutnya adalah mengadakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan para karyawan berbicara dengan informal, misalnya mengadakan talent show, permainan ketika istirahat ataupun mengadakan potluck di kantor.

Tidak kalah penting adalah memberikan penghargaan atau reward bagi karyawan yang telah memberikan pendapat mereka. Tidak perlu hingga memberikan bonus lebih atau tunjangan, penghargaan berupa tepuk tangan ataupun kata-kata sanjungan dapat menjadi penguatan bagi mereka bahwa “berpendapat adalah sesuatu yang baik di organisasi ini”. 

Mendorong adanya kerjasama antar karyawan juga dapat menjadi salah satu cara agar mereka akhirnya mau bersuara. Interaksi antar karyawan dapat menjadi dorongan tersendiri bagi mereka agar mau saling mengeluarkan pendapat.

Tidak dapat dipungkiri jika kritikan bukanlah hal yang bisa diterima dengan lapang dada bagi semua orang, terutama di Indonesia. Masih kentalnya budaya ”tidak enakan” menjadi salah satu halangan bagi karyawan untuk berbicara. Selain itu, beberapa karyawan juga belum memahami bagaimana menyampaikan pendapatnya dengan cukup sopan. Menunjukkan pada mereka tentu saja harus dilakukan dengan contoh langsung oleh pimpinannya. Memberi teguran yang dilakukan empat mata dan tidak didepan publik ataupun pujian yang langsung diberikan ketika mereka mampu menyampaikan pendapat dengan santun dapat menjadi sinyal bagi para karyawan untuk terus berpendapat dalam koridor kesopanan.


Referensi:
Dettert, J.R., and Burris, E.R. (2007). Leadership Behavior and Employee Voice: Is the Door really Open? Academy of Management Journal, Vol 50. 869-884.
Morrison, E.W., and Miliken, F.J. (2000). Organizational Silence: A Barrier To Change and Development in A Pluralistic World. Academy of Management Review. Vol. 25. No. 4. 706-725.
Wang, Y-D., & Hsieh, H-H. (2013). Organizational Ethical Climate, Perceived Organizational Support and Employee Silence: A Cross-Level Investigation. Human Relation. 66: 783.
https://www.forbes.com/sites/glennllopis/2012/01/17/6-unique-ways-to-sustain-a-high-performance-mentality/#1d6831d52b51


Novika Graciaswati - Lecturer
Faculty of Psychology - Universitas YARSI
Share:

1 comments:

Learning Human Capital said...
This comment has been removed by a blog administrator.