Dongeng "Baju Baru sang Raja" dapat menjadi
sebuah gambaran bagaimana seharusnya budaya
‘diam’ menjadi isu yang tidak dipandang sebelah mata oleh organisasi
manapun. Dongeng berakhir dengan Raja yang malu karena ia berparade dengan
telanjang, suatu hal yang sebenarnya dapat ia hindari jika orang disekitarnya
mau berbicara dan mengeluarkan pendapat mengenai ketidakberesan dalam kerajaannya. Sejalan dengan ilustrasi di atas, tulisan ini
akan membahas mengenai fenomena silence atau memilih ‘diam’ bagi karyawan di Indonesia, bagaimana
organisasi dan atasan turut serta berperan dalam terbentuknya fenomena ini dan apa yang dapat dilakukan
untuk memutus rantai fenomena ini dan menjadikan organisasi Anda lebih ‘hidup’.
Diam, Apa Masalahnya?
Pepatah lama mengungkapkan jika silence is gold, tetapi tentu hal tersebut tidak dapat sepenuhnya diaplikasikan
dalam semua lini kehidupan. Bahkan, diamnya seorang karyawan dalam organisasi dapat
menimbulkan banyak kerugian bagi organisasi itu sendiri. Glenn Llopis, pemilik
firma Glenn Llopis Group serta salah satu kontributor Majalah Forbes,
mengungkapkan pentingnya suara dari karyawan bagi organisasi. Lebih lanjut, Ia
menuturkan bahwa suara karyawan dapat mengungkapkan sebaik apa performa sebuah
organisasi. Suara karyawan memberikan masukan dari dalam mengenai apa yang
mesti dievaluasi dari suatu organisasi sehingga mungkin dapat mempengaruhi plan ke depan. Pada artikel yang lain,
Glenn Llopis juga mengungkapkan bahwa mendengar ide-ide karyawan berusia 20-tahunan
membantu dia menemukan cara untuk berpikir a la Gen Y. Bagi karyawan sendiri,
bersuara memberikan banyak keuntungan misalnya menjadi lebih ‘terlihat’
sehingga kesempatan lebih mungkin datang serta meningkatkan karir dalam
organisasi.
Mengapa Mereka Memilih Diam?
Tentu, jika melihat
banyaknya manfaat yang bisa didapat organisasi maupun karyawan yang ‘bersuara’,
mengapa masih banyak yang justru memilih diam dan enggan menyuarakan
pendapatnya?
Beberapa ahli
mengungkapkan jika seringkali yang membuat karyawan memilih bungkam bukan
karena mereka pendiam, tetapi lebih karena pengaruh organisasi atau supervisor
yang kurang mendukung mereka bersuara. Morrison dan Miliken (2000), misalnya, Mengungkapkan jika suasana diam yang dialami karyawan awalnya dibangun dari struktur dan kebijakan yang berlaku di dalam
organisasi. Kebijakan yang seringkali sentralisasi dan tidak memiliki ruang
untuk dengar pendapat membuat karyawan takut menyuarakan pendapatnya. Studi yang dilakukan kepada 408 responden di Taiwan yang menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara iklim organisasi yang menekan dengan
keengganan para karyawan untuk
menyuarakan pendapat (Wang & Hsieh, 2013). Iklim organisasi yang dibangun dari kebijakan serta aturan yang dipersepsikan sebagai ancaman akan membuat karyawan tidak mau bersuara. Sebaliknya ketika iklim organisasi dianggap mengayomi
karyawan dan cukup kondusif, mereka tidak merasakan adanya ancaman dan akhirnya membuat mereka lebih nyaman mengungkapkan pendapatnya.
Manajer, supervisor ataupun atasan juga diketahui menjadi
penyebab timbulnya ketakutan
untuk berbicara ini. Ketika manajer
menolak adanya umpan balik negatif atau
tidak memiliki kelapangan dada dalam menghadapi kritik dan saran, karyawan di
bawahnya tentu memilih menolak untuk berbicara. Mereka tentu menjadi takut
untuk mengeluarkan pendapat. Manajer
atau pimpinan yang mau mendengarkan saja ternyata juga tidak cukup membuat
karyawan mau bersuara. Detter dan Burris (2007) mengungkapkan bahwa meskipun pemimpin
memiliki sifat terbuka tetapi jika karyawan merasa bahwa resiko yang diterima
akan menyakitinya, misalnya membuat posisinya terancam, mereka akan lebih memilih
untuk diam dan menyelamatkan diri mereka sendiri.
Bagaimana Agar Karyawan Mau
Bersuara?
Lantas, jika sudah terlanjur iklim diam ini mendarah
daging dalam organisasi, apa yang bisa dilakukan agar karyawan mau bersuara dan
urun pendapat? Peter Economy, associate editor untuk Leader to Leader dan penulis buku laris Managing for Dummies, mengungkapkan ada lima langkah sederhana yang
dapat dilakukan pimpinan, baik supervisor ataupun manajer, untuk memutus rantai
‘kediaman’ para karyawan ini.
Langkah pertama tentu
memberikan contoh bagi mereka untuk bersuara. Membiasakan diri untuk
berkomunikasi dengan mereka dan memberikan kesediaan untuk ditanya menjadi
suatu keharusan bagi pimpinan yang ingin menjaring pendapat karyawannya.
Langkah selanjutnya adalah mengadakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan para
karyawan berbicara dengan informal, misalnya mengadakan talent show, permainan ketika istirahat ataupun mengadakan potluck di kantor.
Tidak kalah penting
adalah memberikan penghargaan atau reward
bagi karyawan yang telah memberikan pendapat mereka. Tidak perlu hingga
memberikan bonus lebih atau tunjangan, penghargaan berupa tepuk tangan ataupun
kata-kata sanjungan dapat menjadi penguatan bagi mereka bahwa “berpendapat
adalah sesuatu yang baik di organisasi ini”.
Mendorong adanya
kerjasama antar karyawan juga dapat menjadi salah satu cara agar mereka
akhirnya mau bersuara. Interaksi antar karyawan dapat menjadi dorongan
tersendiri bagi mereka agar mau saling mengeluarkan pendapat.
Tidak dapat dipungkiri
jika kritikan bukanlah hal yang bisa diterima dengan lapang dada bagi semua
orang, terutama di Indonesia. Masih kentalnya budaya ”tidak enakan” menjadi
salah satu halangan bagi karyawan untuk berbicara. Selain itu, beberapa karyawan
juga belum memahami bagaimana menyampaikan pendapatnya dengan cukup sopan. Menunjukkan
pada mereka tentu saja harus dilakukan dengan contoh langsung oleh pimpinannya.
Memberi teguran yang dilakukan empat mata dan tidak didepan publik ataupun
pujian yang langsung diberikan ketika mereka mampu menyampaikan pendapat dengan
santun dapat menjadi sinyal bagi para karyawan untuk terus berpendapat dalam
koridor kesopanan.
Referensi:
Dettert, J.R.,
and Burris, E.R. (2007). Leadership Behavior and Employee Voice: Is the Door
really Open? Academy of Management
Journal, Vol 50. 869-884.
Morrison, E.W.,
and Miliken, F.J. (2000). Organizational Silence: A Barrier To Change and
Development in A Pluralistic World. Academy of Management Review. Vol.
25. No. 4. 706-725.
Wang, Y-D.,
& Hsieh, H-H. (2013). Organizational Ethical Climate, Perceived
Organizational Support and Employee Silence: A Cross-Level Investigation. Human
Relation. 66: 783.
https://www.forbes.com/sites/glennllopis/2012/01/17/6-unique-ways-to-sustain-a-high-performance-mentality/#1d6831d52b51
Novika Graciaswati - Lecturer
Faculty of Psychology - Universitas YARSI
1 comments:
Post a Comment